Senin, 09 Mei 2011

SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA TAHUN 1945-SEKARANG

SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA

Tahun 1945-1949

Secara umum, terjadi penyimpangan dari ketentuan UUD 1945 antara lain: a. Berubah fungsi komite nasional Indonesia pusat dari pembantu presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN yang merupakan wewenang MPR. b. Terjadinya perubahan sistem kabinet presidensial menjadi kabinet parlementer berdasarkan usul BP – KNIP.

Pada masa ini, lembaga-lembaga negara yang diamanatkan UUD 1945 belum dibentuk, karena UUD 1945 pada saat ini tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya mengingat kondisi Indonesia yang sedang disibukkan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Dengan demikian, sesuai dengan Pasal 4 Aturan Peralihan dalam UUD 1945, dibentuklah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Komite ini merupakan cikal bakal badan legislatif di Indonesia. Hal ini berdasarkan pada Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16 Oktober 1945, diputuskanlah bahwa KNIP diserahi kekuasaan legislatif, karena MPR dan DPR belum terbentuk. Sehingga pada tanggal 14 November 1945 dibentuklah Kabinet Semi-Presidensiel (“Semi-Parlementer”) yang pertama, sehingga peristiwa ini merupakan perubahan sistem pemerintahan agar dianggap lebih demokratis.

Dari segi sejarah sistem pemerintahan yang berlaku di masa ini adalah sistem pemerintahan presidensil, namun terhitung sejak tanggal 14 November 1945, Soekarno sebagai kepala pemerintahan republik diganti oleh Sutan Sjahrir, dengan kata lain sistem pemerintahannya pun berubah ke parlementer. Alasan politis untuk mengubah sistem pemerintahan dari Presidensiil menjadi Parlementer dipicu karena seminggu sebelum perubahan pemerintahan itu, Den Haag mengumumkan dasar rencananya. Soekarno menolak hal ini sedangkan Sjahrir mengumumkan pada tanggal 4 Desember 1945 bahwa pemerintahnya menerima tawaran ini dengan syarat pengakuan Belanda atas Republik Indonesia.

Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk pada tanggal 29 April 1945, adalah Badan yang menyusun rancangan UUD 1945. Pada masa sidang pertama yang berlangsung dari tanggal 28 Mei sampai dengan tanggal 1 Juni 1945 Ir.Sukarno menyampaikan gagasan tentang “Dasar Negara” yang diberi nama Pancasila. Kemudian BPUPKI membentuk Panitia Kecil yang terdiri dari 8 orang untuk menyempurnakan rumusan Dasar Negara. Pada tanggal 22 Juni 1945, 38 anggota BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang terdiri dari 9 orang untuk merancang Piagam Jakarta yang akan menjadi naskah Pembukaan UUD 1945. Setelah dihilangkannya anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya” maka naskah Piagam Jakarta menjadi naskah Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pengesahan UUD 1945 dikukuhkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bersidang pada tanggal 29 Agustus 1945. Naskah rancangan UUD 1945 Indonesia disusun pada masa Sidang Kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Nama Badan ini tanpa kata “Indonesia” karena hanya diperuntukkan untuk tanah Jawa saja. Di Sumatera ada BPUPK untuk Sumatera. Masa Sidang Kedua tanggal 10-17 Juli 1945. Tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.

TAHUN 1949-1950

Pada masa ini sistem pemerintahan indonesia adalah sistem pemerintahan parlementer, yang meganut Sistem multi partai. Didasarkan pada konstitusi RIS, pemerintahan yang diterapkan saat itu adalah sistem parlementer kabinet semu (Quasy Parlementary). Perlu diketahui bahwa Sistem Pemerintahan yang dianut pada masa konstitusi RIS bukanlah cabinet parlementer murni karena dalam sistem parlementer murni, parlemen mempunyai kedudukan yang sangat menentukan terhadap kekuasaan pemerintah.

Diadakannya perubahan bentuk negara kesatuan RI menjadi negara serikat ini adalah merupakan konsekuensi sebagai diterimanya hasil Konferensi Meja Bundar (KMB). Perubahan ini dituangkan dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS). Hal ini karena adanya campur tangan dari PBB yang memfasilitasinya.

Wujud dari campur tangan PBB tersebut adanya konfrensi di atas yaitu : - Indonesia merupakan Negara bagian RIS - Indonesia RIS yang di maksud Sumatera dan Jawa - Wilayah diperkecil dan Indonesia di dalamnya - RIS mempunyai kedudukan yang sama dengan Belanda - Indonesia adalah bagian dari RIS yang meliputi Jawa, Sumatera dan Indonesia Timur.

Dalam RIS ada point-point sebagai berikut :

1. Pemerintah berhak atas kekuasaan TJ atau UU Darurat

2. UU Darurat mempunyai kekuatan atas UU Federasi

Berdasarkan Konstitusi RIS yang menganut sistem pemerintahan parlementer ini, badan legislatif RIS dibagi menjadi dua kamar, yaitu Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat.

TAHUN 1950-1959

Era 1950-1959 ialah era dimana presiden Soekarno memerintah menggunakan konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950, dimana periode ini berlangsung dari 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959. Masa ini merupakan masa berakhirnya Negara Indonesia yang federalis. Landasannya adalah UUD ’50 pengganti konstitusi RIS ’49. Sistem Pemerintahan yang dianut adalah parlementer cabinet dengan demokrasi liberal yang masih bersifat semu. Adapun ciri-ciriny adalah :

a. presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu gugat.

b. Menteri bertanggung jawab atas kebijakan pemerintahan.

c. Presiden berhak membubarkan DPR.

d. Perdana Menteri diangkat oleh Presiden.

Diawali dari tanggal 15 Agustus 1950, Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia (UUDS NKRI, UU No. 7/1850, LN No. 56/1950) disetujui oleh DPR dan Senat RIS. Pada tanggal yang sama pula, DPR dan Senat RIS mengadakan rapat di mana dibacakan piagam pernyataan terbentuknya NKRI yang bertujuan:

1. Pembubaran secara resmi negara RIS yang berbentuk federasi;

2. Pembentukan NKRI yang meliputi seluruh daerah Indonesia dengan UUDS yang mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950.

UUDS ini merupakan adopsi dari UUD RIS yang mengalami sedikit perubahan, terutama yang berkaitan dengan perubahan bentuk negara dari negara serikat ke negara kesatuan.

Antara 1950 – 1959 Indonesia menggunakan sistem pemerintahan parlementer yang dalam waktu 4 tahun telah terjadi 33 kali pergantian kabinet (Feith, 1962 dan Feith, 1999). Setelah unitary dari Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Indonesia mulai menganut sistem Demokrasi Liberal dimana dalam sistem ini pemerintahan berbentuk parlementer sehingga perdana menteri langsung bertanggung jawab kepada parlemen (DPR) yang terdiri dari kekuatan-kekuatan partai. Anggota DPR berjumlah 232 orang yang terdiri dari Masyumi (49 kursi), PNI (36 kursi), PSI (17 kursi), PKI (13 kursi), Partai Katholik (9 kursi), Partai Kristen (5 kursi), dan Murba (4 kursi), sedangkan sisa kursi dibagikan kepada partai-partai atau perorangan, yang tak satupun dari mereka mendapat lebih dari 17 kursi. Ini merupakan suatu struktur yang tidak menopang suatu pemerintahan-pemerintahan yang kuat, tetapi umumnya diyakini bahwa struktur kepartaian tersebut akan disederhanakan apabila pemilihan umum dilaksanakan.

Setelah pembentukan NKRI diadakanlah berbagai usaha untuk menyusun Undang-Undang Dasar baru dengan membentuk Lembaga Konstituante. Lembaga Konstituante adalah lembaga yang diserahi tugas untuk membentuk UUD baru. Konstituante diserahi tugas membuat undang-undang dasar yang baru sesuai amanat UUDS 1950. Namun sampai tahun 1959 badan ini belum juga bisa membuat konstitusi baru. Maka Presiden Soekarno menyampaikan konsepsi tentang Demokrasi Terpimpin pada DPR hasil pemilu yang berisi ide untuk kembali pada UUD 1945.

TAHUN 1959-1966

Sebagaimana dibentuknya sebuah badan konstituante yang bertugas membuat dan menyusun Undang Undang Dasar baru seperti yang diamanatkan UUDS 1950 pada tahun 1950, namun sampai akhir tahun 1959, badan ini belum juga berhasil merumuskan Undang Undang Dasar yang baru, hingga akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit pada 5 Juli 1959. Bung Karno dengan dukungan Angkatan Darat, mengumumkan dekrit 5 Juli 1959. Isinya; membubarkan Badan Konstituante dan kembali ke UUD 1945. Sejak 1959 sampai 1966, Bung Karno memerintah dengan dekrit, menafikan Pemilu dan mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup, serta membentuk MPRS dan DPRS. Sistem yang diberlakukan pada masa ini adalah sistem pemerintahan presidensil.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ialah dekrit yang mengakhiri masa parlementer dan digunakan kembalinya UUD 1945. Masa sesudah ini lazim disebut masa Demokrasi Terpimpin. Isinya ialah:

1. Kembali berlakunya UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950

2. Pembubaran Konstituante

3. Pembentukan MPRS dan DPAS

Sejak tahun 1959-1966, Bung Karno menerapkan demokrasi terpimpin. Semua anggota DPR-GR dan MPRS diangkat untuk mendukung program pemerintahannya yang lebih fokus pada bidang politik. Bung Karno berusaha keras menggiring partai-partai politik ke dalam ideologisasi NASAKOM—Nasional, Agama dan Komunis. Tiga pilar utama partai politik yang mewakili NASAKOM adalah PNI, NU dan PKI. Bung Karno menggelorakan Manifesto Politik USDEK. Dia menggalang dukungan dari semua kekuatan NASAKOM. Era Demokrasi Terpimpin adalah kolaborasi antara kekuasaan kaum borjuis dengan komunis itu ternyata gagal dalam memperbaiki sistem perekonomian Indonesia, malahan yang terjadi adalah penurunan cadangan devisa, inflasi terus menaik tanpa terkendali, korupsi kaum birokrat dan militer merajalela, sehingga puncaknya adalah pemberontakan PKI yang dikenal dengan pemberontakan G 30 S/ PKI. Selain itu, Presiden mempunyai kekuasaan mutlak dan dijadikannya alat untuk melenyapkan kekuasaan-kekuasaan yang menghalanginya sehingga nasib partai politik ditentukan oleh presiden (10 parpol yang diakui). Tidak ada kebebasan mengeluarkan pendapat. Berdasarkan UUD 1945, kedudukan Presiden berada di bawah MPR. Akan tetapi, kenyataannya bertentangan dengan UUD 1945, sebab MPRS tunduk kepada Presiden. Presiden menentukan apa yang harus diputuskan oleh MPRS. Hal tersebut tampak dengan adanya tindakan presiden untuk mengangkat Ketua MPRS dirangkap oleh Wakil Perdana Menteri III serta pengagkatan wakil ketua MPRS yang dipilih dan dipimpin oleh partai-partai besar serta wakil ABRI yang masing-masing berkedudukan sebagai menteri yang tidak memimpin departemen. Presiden juga membentuk MPRS berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959. Tindakan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 karena Berdasarkan UUD 1945 pengangkatan anggota MPRS sebagai lembaga tertinggi negara harus melalui pemilihan umum sehingga partai-partai yang terpilih oleh rakyat memiliki anggota-anggota yang duduk di MPR. Anggota MPRS ditunjuk dan diangkat oleh Presiden dengan syarat : Setuju kembali kepada UUD 1945, Setia kepada perjuangan Republik Indonesia, dan Setuju pada manifesto Politik. Keanggotaan MPRS terdiri dari 61 orang anggota DPR, 94 orang utusan daerah, dan 200 orang wakil golongan. Tugas MPRS terbatas pada menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). TAHUN 1966-1998 UUD yang sama pernah ditafsirkan sebagai single-executive sistem, sesuai ketetapan Pasal 4 sampai 15 dan Presiden menjabat sebagai Kepala Negara serta sekaligus Kepala Pemerintahan. Antara 1966 sampai 1998, berlaku sistem pemerintahan untuk negara integralistik dengan konsentrasi kekuasaan amat besar pada Presiden (too stong presidency). Orde baru pimpinan Soeharto lahir dengan tekad untuk melakukan koreksi terpimpin pada era orde lama. Namun lama kelamaan banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan. Soeharto mundur pada 21 Mei 1998. Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Pada dasarnya sistem yang diberlakukan pada masa ini adalah sistem pemerintahan presidensil. Dalam masa ini, DPR berada di bawah kontrol eksekutif. Kekuasaan presiden yang terlalu besar dianggap telah mematikan proses demokratisasi dalam bernegara. DPR sebagai lembaga legislatif yang diharapkan mampu menjalankan fungsi penyeimbang (checks and balances) dalam prakteknya hanya sebagai pelengkap dan penghias struktur ketatanegaraan yang ditujukan hanya untuk memperkuat posisi presiden yang saat itu dipegang oleh Soeharto.

TAHUN 1998-sekarang

Masa ini merupakan masa dimana telah berakhrirnya rezim orde baru dan dimulainya masa reformasi. Pasca orde baru UUD 1945 telah diamandemen sebanyak empat kali. Sejak 2002, dengan berlakunya UUD hasil amandemen keempat, berlaku sistem presidensial. Posisi MPR sebagai pemegang kedaulatan negara tertinggi dan sebagai perwujudan dari rakyat dihapus, dan badan legislatif ditetapkan menjadi badan bi-kameral dengan kekuasaan yang lebih besar (stong legislative). UUD 2002 hasil amandemen bahkan telah menimbulkan kompleksitas baru dalam hubungan eksekutif dan legislative, bila presiden yang dipilih langsung dan mendapat dukungan popular yang besar tidak mampu menjalankan pemerintahannya secara efektif karena tidak mendapat dukungan penuh dari koalisi partai-partai mayoritas di DPR. Political gridlocks semacam itu telah diperkirakan dan karenanya ingin dihindari oleh para perancang UUD 1945, hampir 6 dekade yang lalu, sehingga akhirnya tidak memilih sistem presidensial sebagai sistem pemerintahan untuk negara Indonesia yang baru merdeka. (Setneng RI, 1998 dan Kusuma, FH-UI, 2004). Setelah MPR mengesahkan amandemen ketiga dan keempat UUD 1945, sistem pemerintahan negara Indonesia berubah menjadi sistem presidensial. Perubahan tersebut ditetapkan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD baru. MPR tidak lagi merupakan perwujudan dari rakyat dan bukan locus of power, lembaga pemegang kedaulatan negara tertinggi. Pasal 6A ayat (1) menetapkan “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Dua pasal tersebut menunjukkan karakteristik sistem presidensial yang jelas berbeda dengan staats fundamental norm yang tercantum dalam Pembukaan dan diuraikan lebih lanjut dalam Penjelasan UUD 1945. Pelaksanaan demokrasi pancasila pada era reformasi telah banyak memberikan ruang gerak pada parpol maupun DPR untuk mengawasi pemerintah secara kritis dan dibenarkan untuk unjuk rasa. Sistem Pemerintahan setelah amandemen (1999 – 2002) :

Ø MPR bukan lembaga tertinggi lagi.

Ø Komposisi MPR terdiri atas seluruh anggota DPR ditambah DPD yang dipilih oleh rakyat.

Ø Presiden dan wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat.

Ø Presiden tidak dapat membubarkan DPR.

Ø Kekuasaan Legislatif lebih dominan.

3 komentar: